29 Januari 2009

Pentas Teater "Akulah Melayu"

Sekolah Menulis

Komunitas Paragraf
Buka “Sekolah Menulis”



Sejak lama, tak dapat dipungkiri Riau telah mejadi ”tanah subur” lahirnya para penulis (sastrawan) yang handal. Karya-karya mereka terus bergaung sampai hari ini. Mulai dari karya-karya (sastra) klasik, sampai karya-karya yang lahir di zaman modern. Maka tradisi keberaksaraan di Riau sesungguhnya telah menancapkan sejarahnya yang cemerlang dalam dunia sastra (di) Indonesia, bahkan dalam jangkauan yang lebih luas lagi. Namun, kenyataan tersebut boleh jadi akan sekedar menjadi gambaran eksklusif saja, romantisme saja, jika proses estafet untuk membangun regenerasi kepenulisan tak dapat berjalan dengan baik dan sehat.
Sampai hari ini, karya sastra dari tangan penulis Riau memang terus lahir. Akan tetapi kelahirannya belum dapat dikatakan menggembirakan. Terutama pada generasi tahun 2000-an, penulis-penulis baru muncul dengan tersendat-sendat. Bahkan ada yang baru muncul, tiba-tiba raib entah ke mana. Di media-media sastra lokal macam Riau Pos atau Riau Mandiri juga Majalah Sagang, karya sastra memang terus ”diproduksi”. Namun belum menunjukkan capaian-capaian estetika yang memadai dengan hadirnya nama-nama baru. Intensitas kepenulisan para penulis muda ini masih dalam frekuensi yang amat rendah. Apalagi, untuk media nasional, nama-nama penulis baru dari Riau belum juga muncul. Jika dibandingkan dengan daerah lain, maka Riau cukup mencemaskan.
Untuk mempercepat proses lahirnya para penulis baru di Riau, dengan semangat, intensitas, dan produktivitas yang tinggi, maka dirasa sangat penting adanya sebuah ruang ”belajar dan berlatih” non-formal yang secara berkala dan intensif menggali potensi-potensi calon penulis muda. Maka Komunitas Paragraf dengan segenap kemampuan yang ada, segera mengambil peran ini dengan membuka sebuah ”ruang kecil” bernama ”Sekolah Menulis”. Sekolah Menulis ini dilandasi dengan sejumlah tujuan, di antarnya: (1) Melahirkan generasi baru penulis Riau yang tunak dan berwawasan luas. (2) Menciptakan ruang alternatif dunia pendidikan sekaligus membuat kantong-kantong kebudayaan yang beragam. (3) Memberi fokus yang lebih besar dan mempercepat upaya pengembangan dunia kepenulisan di Riau. (4) Membangkitkan semangat tradisi tulis, dan sekaligus tradisi baca. (5) Meningkatkan mutu karya tulis, sekaligus mutu buku-buku di Riau. (6) Membangun jaringan kepenulisan (di) Riau dengan dunia kepenulisan (di) Indonesia maupun luar Indonesia. (7) Membuka ruang-ruang pengembangan kreativitas bagi bakat dan potensi kepenulisan yang terpendam. (8) Membuka ruang-ruang esktrakurikuler (terutama bagi siswa) yang lebih terarah dan terprogram. (9) Membangun lalu lintas wacana sastra yang lebih dinamis.
Sekolah Menulis ”Paragaraf” bukan sekolah formal, meski tetap menggunakan sejumlah sistematika kurikulum yang terarah untuk memperjelas
fokus orientasi dan capaiannya. Waktu belajar dan latihan bisa dijadwalkan pada jam-jam senggang, seperti hari libur, malam hari, atau sore hari, dan diselenggarakan 2 sampai 3 kali pertemuan dalam seminggu. Rentang waktu menyelesaikan sekolah selama 6 sampai 12 bulan, untuk setiap generasi. Namun, jika dianggap perlu untuk mematangkan proses kepenulisan, peserta ”sekolah menulis” dapat bergabung dalam berbagai program kepenulisan di komunitas Paragraf, dan menjadi anggota tetap. Peserta akan langsung dilatih dan dibimbing para sastrawan/penulis (di) Riau, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Dan untuk tempat, selain di kelas/ruang yang tersedia, tempat sekolah bisa saja diselenggarakan di rumah-rumah para pengajar (sistem jemput bola), atau di sebuah tempat yang kondusif untuk menunjang proses pembelajarannya. Sebagai bukti telah menyelesaikan sekolah, siswa diwajibkan untuk menciptakan sebuah karya sastra, sesuai dengan pilihan genrenya masing-masing. Karya itu akan (diusahakan) untuk diterbitkan dalam bentuk buku, setelah melalui sejumlah seleksi ‘kelayakan’ dan diberikan sertifikasi (sebagai tanda kelulusan). Sebagai kegiatan penunjang, Komunitas Paragraf akan melibatkan peserta dalam program ”Diskusi Sastra Bulanan” dan penerbitan ”Majalah Sastra.”
Bagi para calon penulis muda yang ingin bergabung, tanpa dipungut biaya, dengan syarat-syaratnya sebagai berikut: (1) Membawa karya sastra/tulis karangan sendiri (bisa puisi, cerpen, novel, naskah drama, skenario, atau esai budaya) dalam bentuk print-out 1 eksemplar, dan dalam bentuk CD 1 keping. Untuk Puisi minimal 10 judul. Untuk cerpen 2 judul, untuk novel, naskah drama, seknario, masing-masing 1 judul, dan untuk esai 2 judul. (2) Usia minimal 15 s/d 25 tahun (foto copy KTP/SIM/KTM/dll). (3) Membawa pas fhoto berwarna 2 x 3 sebanyak 2 lembar, 3 x 4, sebanyak 2 lembar. (4) Membawa Curiculum Vitae (biodata). (5) Mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan. (6) Mengikuti wawancara.
Setelah dinyatakan lolos seleksi administrasi dan wawancara, bersedia menandatangani sejumlah kesepakatan. Pendaftaran dimulai tanggal 8 sampai 30 Desember 2008, di Galeri Ibrahim Sattah dan/atau Kantor HMJ Teater Akademi Kesenian Melayu Riau, mulai pukul 11.00 – 16.00 WIB. Pengumuman hasil tes administrasi akan dilakukan via telepon dan melalui pengumuman tertulis di dua tempat pendaftaran tersebut. Tes wawancara dilakukan pada tanggal 10 dan 11 Januari 2009. Kontak person: Marhalim (081371660659), Syarifudin (085278300106). Untuk tahap awal ini, Komunitas Paragraf hanya menerima maksimal 10 (sepuluh) orang calon penulis.***

23 November 2008

JARINGAN SENIMAN RIAU (JSR)

Pernyataan Sikap
Jaringan Seniman Riau (JSR)

Pekanbaru, 16 November 2008


Mengamati dan menganalisa kondisi kesenian (di) Riau saat ini, maka yang tampak dan mencuat adalah ketidakjelasan orientasi dan kekacauan paradigma. Bahkan berbagai gejala menunjukkan bahwa aktivitas kesenian kita telah masuk ke dalam suasana euforia berlebihan dan histeria perayaan semata, tanpa menukik ke dalam penggalian substansi nilai-nilai kebudayaan. Berbagai lembaga, yang mengusung dan mengatasnamakan seni-budaya, menggelar berbagai iven seni dan budaya yang tumpang tindih dan simpang siur. Kerja kebudayaan, kemudian dimaknai hanya sebatas aktivisme, sekedar seremonial, tanpa konsep yang matang, dengan target yang tak jelas. Kerja kebudayaan, bahkan telah ”diperalat” dan ”ditunggangi” hanya sebagai kendaraan mencapai tujuan-tujuan materialistik belaka. Bahkan belakangan, kerja kebudayaan dimanipulasi secara sangat nyata dan vulgar sebagai media publisitas politik.
Sehingga, yang terjadi kini bukan mempercepat perkembangan gerak hidup seni-budaya kita, akan tetapi justru menumpulkan hasrat kreatif para pengkarya untuk melahirkan karya-karya bermutu. Kalau pun lahir karya-karya, mayoritas adalah karya-karya yang tidak dilandasi oleh kerja ”serius” untuk menggali capaian-capaian estetika. Maka kemudian lahirlah para ”seniman instan” yang dikarbit oleh sebuah ”sistem berkesenian” yang sakit, yang melahirkan karya-karya musiman, karya-karya pesanan, karya-karya asal jadi. Sistem kesenian yang terlampau cepat membuat orang-orang mengaku dirinya sebagai seniman hebat, sebagai budayawan, sebagai orang yang merasa paham betul ”mengurusi” dunia seni-budaya. Sebab, ”sistem kesenian” ini memang lebih banyak terbentuk dari paradigma kekuasaan yang politis, yang ”melembagakan” kesenian sebagai sebuah lembaga yang tak berbeda dengan organisasi politik. Padahal, sebagai sebuah ruang ekspresi yang mengungkai nilai-nilai kemanusiaan, kesenian tak bisa ”dipenjara” dalam sebuah tafsir tunggal, dalam sebuah dominasi kultural, dalam sebuah otoritarianisme kekuasaan. Salah satu ruang ”pelembagaan” kesenian yang patut kini dipertanyakan peran, fungsi, dan keberadaannya adalah Dewan Kesenian Riau (DKR), Dewan Kesenian Pekanbaru, Dewan Kesenian di daerah-daerah, dan juga Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata.
Meski sesungguhnya, tanpa disadari, seniman-seniman mumpuni—baik yang generasi lama maupun baru—dengan kreativitas dan produktivitas tinggi tetap lahir di berbagai ceruk-ceruk daerah yang tak tersentuh oleh publikasi. Mereka seolah tersisih di rumah sendiri. Seniman-seniman tradisional kita misalnya, tetap hidup dalam keprihatinan sosial-ekonomi. Sementara lembaga-lembaga yang terkait, yang mestinya bertanggungjawab dalam pemberdayaannya, terus saja ”menjual” mereka dalam berbagai iven, sebagai ”boneka pajangan yang lucu,” tanpa peduli realitas kehidupan keseharian mereka. Lalu, perhatikanlah seniman-seniman muda kita. Apa kabar mereka? Mereka tumbuh dalam ruang linglung, menyaksikan generasi pendahulu mereka yang membangun ”imperium” mereka sendiri-sendiri. Seniman-seniman muda kita pun kian bingung, ketika dihadapkan pada realitas berkesenian yang tidak sehat, bahkan banyak di antara mereka pun ikut masuk ke dalam labirin yang sesat. Jadi pengekor alias epigon. Jadi pasif, dan tidak kritis. Jadi apatis dan permisif. Jadi pragmatis, dan terlalu cepat puas. Jadi orang-orang yang takut berbuat.
Kini patut digarisbawahi, bahwa tanpa lembaga-lembaga yang tersebut di atas, seniman-seniman tetap tak berhenti berkarya. Seniman-seniman (sesungguhnya) tak terlampau ”berharap” dari lembaga-lembaga tersebut untuk menopang keberlangsungan proses kreatif mereka. Namun, misalnya terkhusus DKR, sebagai sebuah lembaga yang mengatasnamakan kesenian Riau, dan didirikan bersama seniman dan budayawan Riau serta Gubernur Riau, yang berperan sebagai (sebagaimana tercantum dalam Pedoman Dasar DKR):
1.Pemikir dan konseptor kebijaksanaan pembinaan dan pengembangan keseniaan di Provinsi Riau.
2.Sebagai pelaksana pengembangan kesenian guna membantu Pemerintah Daerah Provinsi Riau melalui langkah-langkah peningkatan kegiatan kesenian, peningkatan kualitas kesenian, peningkatan apresiasi seni masyarakat, peningkatan penghargaan dan kesejahteraan seniman.
Maka sudah barang tentu, mau tak mau, DKR harus mengambil peran yang demikian penting dengan strategi-strategi yang terkonsep, untuk ”mengawal” perkembangan kesenian (di) Riau. Pertanyaannya, apakah kini fungsi dan peran tersebut telah teraplikasi dengan baik dan benar? Siapakah kemudian yang ”mengawal” dengan ketat, cermat, dan kritis jika fungsi dan peran tersebut tak dapat terlaksana secara maksimal?
Demi menunjukan kepedulian dan keprihatinan kami atas kondisi ini, kami para penggiat kesenian, para sarjana/akademisi seni, para pengkarya dari berbagai genre seni di Riau, yang tergabung dalam JARINGAN SENIMAN RIAU memaklumatkan pernyataan sikap sebagai berikut:
1. Menolak diselenggarakannya iven-iven seni-budaya yang menghabiskan dana rakyat yang besar, namun tidak menyentuh kebutuhan-kebutuhan mendasar proses pengembangan karya para seniman dan penikmat seni-budaya. Dan segera evaluasi dan kritisi berbagai iven seni-budaya yang telah dan akan digelar di Riau, terutama yang terkait dengan orientasi kegiatan dan transparansi pendanaannya.
2. Mempertanyakan kembali peran dan fungsi lembaga-lembaga seni-budaya di Riau, seperti DEWAN KESENIAN RIAU (DKR), DEWAN KESENIAN PEKANBARU, DEWAN KESENIAN DAERAH, dan juga DINAS KEBUDAYAAN, KESENIAN DAN PARIWISATA.
3. Mempertanyakan kinerja kepengurusan DEWAN KESENIAN RIAU (DKR), DEWAN KESENIAN PEKANBARU (DKP), dan DEWAN KESENIAN DAERAH (DKD) dalam menjalankan peran dan fungsinya.
4. Menolak ”eksploitasi” lembaga kesenian sebagai kendaraan politik.
5. Menolak kebijakan-kebijakan sepihak yang mengatasnamakan lembaga kesenian macam DKR, DKP, dan DK daerah, yang bertujuan pada kepentingan-kepentingan pribadi. Apalagi yang terkait dengan hal-hal di luar dunia kesenian. Kebijakan, pikiran, tindakan seseorang/pengurus lembaga kesenian, yang tidak terkait dengan dunia kreativitas seni, adalah tidak sama sekali mencerminkan pikiran dan tindakan seniman secara kolektif.
6. Menolak dominasi lembaga-lembaga seni-budaya tertentu dalam memanfaatkan bantuan dana pemerintah untuk pembinaan dan pengembangan seni-budaya, tanpa memberikan peluang bagi lembaga (sanggar/komunitas) yang lain.
7. Segera memberikan perhatian khusus dengan serius kesejahteraan seniman-seniman tradisional di Riau, dan kesejahteraan seniman-seniman (modern) yang tunak dalam berkarya.
8. Menggesa penggunaan dan pengelolaan gedung Anjung Seni Idrus Tintin sebagai tempat para seniman berkarya, dan memberi kebebasan seluas-luasnya kepada setiap seniman untuk dapat memanfaatkan gedung tersebut, tanpa dibebani dengan pendanaan yang besar dan berlebihan.
9. Karena mendesaknya berbagai persoalan kesenian kita yang mesti dibahas dan dicari solusinya, maka kami mengusulkan dan menyetujui digelarnya KONGRES SENIMAN RIAU.

Demikian, pernyataan ini kami buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, untuk menghimpun semangat bersama membangun dunia seni budaya (di) Riau ke dapan menjadi lebih baik dan bermartabat.

Wassalam,
Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini,
JARINGAN SENIMAN RIAU:

1. Jon Kobet, S.Sn (Diskomvis, Rokan Hulu)
2. SPN Marhalim Zaini, S.Sn (Sastra/Teater, Pekanbaru)
3. Hery Budiman (Fotografer, Pekanbaru)
4. Romi AB. S.Sn (Perupa/Film, Teluk Kuantan)
5. Fery A Jaham, S.Sn (Keramik, Pekanbaru)
6. Hukmi, S.Sn. M.Hum (Musik, Pekanbaru)
7. Ibenk Nureska (Teater/Film, Kampar)
8. Husin, S.Sn (Teater, Kampar)
9. Hasan, S.Sn (Teater, Kampar)
10. Jufri HBR, S.Sn (Teater, Kampar)
11. Idrus Min, S.Sn (Kampar)
12. Khalil Zuhdi, S.Sn (Lukis, Kampar)
13. M. Rasyid (Lukis, Tembilahan)
14. SPN Masteven Romus (Perupa, Pekanbaru)
15. Monda Gianes, A.Md. Sn (Teater, Pekanbaru)
16. Abdul Haris, S.Sn (Kriya, Rokan Hulu)
17. Dewi Masruroh, S.Sn (Poster, Rokan Hulu)
18. Taslim (Koba, Rokan Hulu)
19. Suwarno, S.Sn (Kriya, Siak)
20. M. Yulidin, S.Sn (Kriya, Siak)
21. Rio Dwi Suprianto, S.Sn (Lukis, Bankinang)
22. Miranti Mayang Sari, S.Sn (Tari, Pekanbaru)
23. Selamet Rifaldi, A.Md.Sn (Musik, Pekanbaru)
24. Adhari Donora, S.Sn (Interior, Pekanbaru)
25. Alvi Puspita (Sastra, Pekanbaru)
26. Jefry Al Malay, A.Md.Sn (Teater/Sastra, Pekanbaru)
27. Sobirin Zaini (Sastra, Pekanbaru)
28. M. Thariq, S.Sn (Perupa, Pekanbaru)
29. Deby (Keramik, Pekanbaru)
30. Jonrizon (Musik, Pekanbaru)
31. Hary B Kori’un (Sastra, Pekanbaru)
32. Ocu Edi (Kampar, Pekanbaru)
33. Ade (Teater, Rengat)
34. Wetry Febrina (Sastra, Dumai)
35. SPN Arman Rambah, S.Pd (Musik, Pekanbaru)
36. M. Kafrawi, S.S, M.Sn (Sastra/Teater, Pekanbaru)
37. Saridan, S.Sn (Kriya, Tembilahan)
38. Saaduddin, S.Sn (Teater, Pekanbaru)
39. Fransisko Asmino, S.Sn (Kriya, Pekanbaru)
40. Misselia Novitri, S.Sn (Tari, Kampar)
41. Dewi MN, S.S (Sastra/Teater, Pekanbaru)
42. Gde Agung Lontar (Sastra, Pekanbaru)
43. SPN Zuarman Ahmad (Musik, Pekanbaru)
44. Pandapotan MT Siallagan (Sastra, Pekanbaru)
45.

15 November 2007

Selamat Datang

Marhalim Zaini. Lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Alumnus Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esai budaya, resensi, naskah drama, juga cerbung dipublikasikan ke berbagai media massa lokal, nasional, dan internasional di antaranya Kompas, Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Jurnal Puisi, Jawa Pos, Bali Post, Surabaya Pos, Lampung Post, Riau Pos, Majalah Budaya Sagang, Pustakamaya (Malaysia), dan Prince Claus Fund Journal Netherlands, dll.

Buku-bukunya yang telah terbit Segantang Bintang Sepasang Bulan (Kumpulan Sajak, 2003), Di Bawah Payung Tragedi (Kumpulan Drama, 2003), Langgam Negeri Puisi (Kumpulan Sajak, 2004), Tubuh Teater (Kumpulan Esai, 2004), Getah Bunga Rimba (sebuah Novel yang menerima Penghargaan Utama Ganti Award dari Yayasan Bandar Serai, 2005). Sebuah Novel Hikayat Kampung Mati, di muat bersambung di Harian Riau Pos (2005).

Diundang membacakan karyanya dalam berbagai event sastra dan budaya, di antaranya adalah Festival Kesenian Yogyakarta 2002, Pasar Seni Dewan Kesenian Riau, Hadiah Tepak Dewan Kesenian Bengkalis, Cakrawala Sastra Indonesia oleh Dewan Kesenian Jakarta di TIM (2004), Kenduri Seni Melayu di Batam, Bintan Art Festival di Tanjung Pinang, dan terakhir diundang Komunitas Utan Kayu Jakarta dalam International Literary Biennalle 2005 di Lampung.

Sejumlah perhargaan untuk sejumlah karyanya yang telah diterima, dari Rektor ISI dan DPD BSMI Yogyakarta, ’Hadiah Tepak’ Dewan Kesenian Bengkalis, Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau, Lima Besar KSI Award (Komunitas Sastra Indonesia), Nomine Anugerah Sagang 2004, Sayembara menulis Novel Remaja Dar! Mizan, dan naskah skenario filmnya Dongeng Negeri Siti, terpilih sebagai sepuluh naskah pilihan dalam Sayembara Penulisan Skenario Film oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Dirjen Perfilman Nasiomal Jakarta, 2005. Terakhir, Dewan Kesenian Riau memberikan Anugerah Seni 2005 (Bidang Sastra) bergelar Seniman Pemangku Negeri (SPN).

Karya-karyanya juga dapat ditemukan dalam belasan antologi bersama, di antaranya Filantropi (Festival Kesenian Yogyakarta, 2001), Hijau Kelon dan Sajak 2002 (Kompas, 2002), Pertemuan dalam Pipa (Dewan Kesenian Jakarta, 2004), Satu Abad Cerpen Riau (Yayasan Sagang, 2004), Maha Duka Aceh (PDS HB. Jassin, 2005), Living Together (TUK, 2005), terakhir bersama lima penyair Riau, sajaknya masuk dalam antologi puisi Indonesia-Portugal, dll.

Kini ia berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Pekanbaru sebagai staf pengajar dan Ketua Jurusan Teater. Sambil menggiatkan sejumlah komunitas, di antaranya Komunitas Paragraf dan Telangkai Teater Riau. Bersama istri Titin Kasmila dan seorang anak Dara Asia, tinggal di Pekanbaru.